APAKAH SEMUA AGAMA SAMA SAJA?

 


APAKAH SEMUA AGAMA SAMA SAJA?  

Jika pertanyaan pada awal tulisan ini diajukan kepada Umat Hindu secara umum, kemungkinan besar akan menjawab: “Untuk apa membanding-bandingkan agama? Yang penting tingkah laku kita. Semua agama sama saja.” Betulkah semua Agama sama saja? Beberapa orang akan mengutip sloka Bhagavan Gita yang mengatakan “jalan apapun yang kamu tempuh akan sampai padaKu”. Beberapa orang yang lain, supaya lebih meyakinkan akan mengutip mahawakya “Sarwa Dharma Samabhawa”.


Tapi apakah “Sarwa Dharma Samabhawa” sungguh-sungguh berarti semua agama sama saja? David Frawley (yang nama suddhinya Pandit Wamadewa Sastri), mengatakan ada agama-agama yang berdasarkan dogma, kepercayaan irrasional yang harus diterima begitu saja. Ada agama yang berdasarkan Dharma, hukum universal, yang dapat diperiksa dan diuji oleh akal. Agama-agama dogmatik bersifat sangat eksklusif, merasa memonopoli kebenaran, mempunyai kecenderungan untuk menaklukan, menguasai dan mengendalikan. Sebagai konsekuensinya, disadari atau tidak, sering menganjurkan kebencian. Dari kebencian lahirlah kekerasan terhadap orang-orang yang beragama lain.


Agama-agama yang berdasarkan dharma tidak memiliki ambisi untuk menaklukan dan menguasai, karena tujuan agama bukan untuk menjadi imperialisme politik dan budaya, tapi untuk memberikan kesadaran diri atau pencerahan spritual kepada setiap orang. Agama-agama ini dapat menerima kebenaran darimanapun datangnya. Ia bersifat terbuka dan toleran. Itulah agama universal yang sesungguahnya.


Mengartikan “Sarwa Dharma Samabhawa” sebagai “semua agama sama”, telah menciptakan toleransi satu arah, dan hanya akan merugikan agama Hindu. Karena agama-agama lain, khususnya Kristen dan Islam, tidak berpendapat seperti itu. Dan akan terus berkompetisi dengan missinya yang agresif. “Sarwa Dharma Samabhawa or Sarwa Dharma Samabhawa? Unity or Confusion of Religious? Dari Prajna: A Jour nal of IndianResurgence, January – March, 1997."




Apa Arti Dari Sarwa Dharma Samabhawa?

Dan apakah ini arti yang sesungguhnya dari Sarwa Dharma Samabhawa? Mari kita menguji apakah Sarwa Dharma Samabhawa. Ia adalah sebuah pernyataan semua Dharma adalah sama. Tetapi apakah Dharma? Dharma adalah prinsip kebenaran universal dan kebenaran hukum alam yang abadi. Sebagai contoh, dharma atau sifat api adalah membakar. Seseorang tidak dapat membayangkan api yang tidak membakar.

 

Demikian juga ada prinsip-prinsip etika dan spritual atau dharma. Ettika dharma seperti itu adalah prinsip-prinsip yoga  seperti tidak menyakiti {ahimsa}, kebenaran {satya}, mengontrol seksualitas {brahmacharya}, tidak mencuri {asteya}, dan tidak menimbun uang (aparigraha), yama dan niyama dari pemikiran yoga.


Sebagai contoh, tak ada mahluk yang ingin disakiti, mebuat orang lain menderita adalaah sebuah kejahatan terhadap dharma , sedangkan membantu meringankan penderitaan orang lain adalah perbuatan yang selaras dengan dharma. Semua ini adalah prinsip-prinsip kehidupan yang benar bagi orang dalam setiap masyarakat dan cara hidup.


Prinsip dharma yang lain adalah hukum karma yang menyatakan apa yang kita lakukan memberi hasil dalam kehidupan yang sekarang ataupun kehidupan mendatang ,baik bagi kita sendiri maupun bagi dunia secara keseluruhan. Dengan memahami hukum karma kita bertindak dalam sebuah jalan yang mengutamakan kebaikan semua, tanpa peduli kepercayaan-kepercayaan luar kita ataupun nama wujud yang tanpak. Secara umum tradisi-tradisi yang menyebut dirinya dharma , seperti agama hindu dan agama buddha, menghargai agama sebagai jalan meditasi yang diarahkan untuk membawa penyatuan kita dengan Tuhan atau pencerahan,dan melepaskan diri dari lingkaran kelahiran. Ini dapat disebut sebagai dharma jalan membangun spritual.


Karenanya pertanyaan muncul: apakah semua yang diajarkan agama-agama di seluruh dunia sebuah prinsip dharma? tentunya semua agama mengajarkan kita jalan untuk menjadi baik, mengatakan kebenaran, mengontrol perasaan, dan prinsip-prinsip lain yang sesuai dengan dharma. Prinsip-prinsip yang sebaiknya diterima baik siapapun yang mengatakannya, dan semua ini tidak butuh kepercyaan agama- agama untuk mengikutinya . Mereka adalah prinsip-prinsip yang universal dan umumnya membutikan dirinya sendiri jika kita melihat secara mendalam ke dalam saling ketergantungan semua kehidupan.




Agama-Agama Tidak Mempunyai Banyak Hal Yang Sama 

Dan di atas semua ini , agama-agama tidak mempunyai banyak hal yang sama. Beberapa agama memiliki satu Tuhan pencipta, ketiaka yang lainnya, seperti bhudism dan taoism, tidak memiliki. Ketika tradisi-tradisi dharma mencari pencerahan atau moksa sebagai tujuan, bagi agama – agama lain keselamatan dari dosa serta surga dan neraka adalah realitas utama. Beberapa agama menganggap dunia hanya berumur 6000 tahun , sedangkan kepercayaan yang lain mengatakan dunia  ini berumur milyaran tahun. Beberapa mengijinkan penggunaan wujud dalam pemujaan , sedang yang lainnya dengan keras melarangnya. Beberapa agama toleran dan menerima kepercyaan-kepercayaan lain, di saat yang bersamaan kepercayaan yang lain, sangat militan dan berusaha mencari pengikut yang baru. Agama bagaimana keragaman fenomena kebudayaan lainnya seperti pakaian, bahasa atau seni. Ia hanyalah satu bagian kecil, atau hanya terjadi pada level tertinggi. Dalam kenyataan agama sering kali merupakan sebuah tempat di mana takhyul  yang usang dan praktik-praktik diskriminasi berlangsung dan sering timbul diantara aspek-aspekkehidupan manusia yang kurang tercerahkan.Banyak agama-agama berisi kepercayaan-kepercayaan dan dogma-dogma yang tidak benar secara universal dan beberapa yang lain tidak berlandaskan Dharma sama sekali. Andaikata tidak demikian identitas-identitaskeagamaan yang menyebar dan semua sejarah tentang konflikkeagamaan, perang-perang suci, dan usaha untuk melakukankonversi keyakinan tidak akan pernah terjadi. Ada beberapa prinsip yang tidak sesuai Dharma pada semua agama dan di beberapa agama, paling tidak beberapa kali, prinsip-prinsip adharma berkuasa. Oleh karenanya, pertanyaan seharusnya timbul: Apakah dogma-dogma dan keyakinan-keyakinan dari semua agama adalah Dharma atau kebenaran yang universal? Jelas tidak. Keyakinan Kristen bahwa Kristus adalah satu-satunya putra Tuhan bukanlah sebuah prinsip Dharma, sebuah kebenaran yang abadi dan universal, melainkan sebuah keyakinan atau imajinasi suatu masyarakat semata untuk waktu yang terbatas. Ini adalah sebuah ide yang dikondisikan oleh waktu, tempat dan orang yang tak dapat diterima oleh setiap orang. Keyakinan Islam bahwa Muhammad adalah nabi terakhir adalah juga bukan sebuah Dharma, melainkan sebuah identifikasi kebenaran dengan seseorang secara tertentu dan sebuah pengungkapan sejarah khusus. Keyakinan bahwa satu pengungkapan sejarah seperti Perjanjian Baru atau Al Qurán adalah wahyu Tuhan bukanlah sebuah Dharma atau hukum universal tetapi hanya sekedar opini dari sebuah komunitas.


Surga dan neraka yang abadi juga bukanlah prinsip-prinsip Dharma. Ide ini menawarkan penghargaan atau hukuman abadi untuk perbuatan-perbuatan sementara, hal mana melanggar hukum karma. Sementara orang bisa berargumen bahwa keyakinan-keyakinan semacam itu dapat digunakan untuk maksud mengajak masyarakat kepada Dharma, menanamkan kebajikan moral dan etika kepada orang bodoh, juga jelas bahwa hal itu dapat digunakan bagiprinsip adharma dalam dominasi sosial. Bahkan dalam tradisi-tradisi Dharma beberapa hal bukan tindakan Dharma. Sebagai contoh, sistem kasta yang ditentukan oleh kelahiran bukanlah Dharma. Hal ini tidak merefleksikan kesejatian individu, dimana kelahiran hanyalah sebuah faktor, dan bukan faktor yang paling utama. Sehingga jelas sekali bahwa beberapa doktrin yang mendasar dan utama dari agama-agama yang berbeda bukanlah Dharma atau universal tetapi terbatas dan oleh sebab itu bersifat memecah belah dan sekretarian dalam penerapannya. Di atas semuanya kita harus mengetahui bahwa dogma bukanlah Dharma. Bahwa kita harus menghormati semua Dharma tidak berarti menghormati semua dogma dan menolak mempertanyakannya. Bahwa semua Dharma adalah satu seharusnya tidak digunakan sebagai alasan oleh adharma menyembunyikan diri atau menempatkan dirinya di atas pertanyaan. Bahwa Dharma adalah satu tidak berarti bahwa adharma dapat menyembunyikan diri dalam pakaian agama.




Dharma Versus Dogma      

Ketika kita seharusnya menghargai Dharma dimanapun kita menemukannya, tidak berarti kita juga harus mencerna dogma. Dalam kenyataan dimana ada dogma di sana tidak ada Dharma. Dogma adalah kepercayaan yang tidak bisa dipertanyakan yang selalu diyakini sebagai kebenaran, bahkan jika itu tidak masuk akal atau irasional. Dharma adalah hukum universal yang dapat kita temukan melalui penyelidikan obyektif, mempertanyakan semua dogma dan prasangka Untuk menjunjung tinggi kesatuan Dharma kita tidak dapat menyetujui dan melindungi semua dogma-dogma. Untuk mengangkat bendera Dharma kita harus mempertanyakan dogma dan kegelapan kepercayaan agama, bukan hanya dalam agama kita tetapi dalam semua agama lainnya. Agama Hindu adalah satu-satunya agama di dunia yang menegaskan dirinya sebagai Sanatana Dharma atau Dharma yang universal abadi. la tidak membutuhkan kepercayaan atau dogma, meski ia mempunyai bentuk-bentuk yang untuk mempromosikan Dharma. Hindu Dharma telah mencoba untuk menerima semua prinsip-prinsip Dharma dan memasukan semua ke dalam dirinya. Budhisme dan Jainisme juga menyebut Dharma dan bertujuan untuk Dharma, berbagai prinsip-prinsip karma, pencerahan, dan praktek-praktek Yoga sebagaimana agama Hindu, meski dijelaskan secara berbeda. dikondisikan secara budaya dan sarana Bagaimanapun, Barat dan khususnya agama-agama misionaris tidak pernah menerima tradisi-tradisi Dharma India sebagai sesuatu yang sah. Mereka melanjutkan kampanye untuk mencemarkan sekaligus menggantikan tradisi-tradisi dharma. Mereka umumnya menegaskan bahwa sekalipun seorang yang baik tak akan mendapatkan keselamatan kecuali jika ia memiliki kepercayaan terhadap agama yang benar Seorang Hindu yang baik, dengan alasan ini, tidak akan mendapatkan pertolongan Tuhan kecuali jika ia mengganti kepercayaan dan menjadi seorang Kristen atau Muslim. Begitulah, Dharma atau sifat dasar seseorang bukan faktor yang menentukan di dalam agama-agama misionaris melainkan kepercayaan atau dogma yang mereka terima. Kadang-kadang hal yang lebih jauh dibuat oleh pemikir tertentu bahwa, meski agama-agama memiliki perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi besar, mereka juga memiliki dimensi bagian dalam dari ajaran mistik yang sama. Bagaimanapun, jika kita melihat lebih dalam, kita tidak menemukan kebulatan suara di antara kaum mistik. Ada perbedaan-perbedaan pandangan terhadap Moksha dan Nirwana dengan Budhist dan tradisi-tradisi Hindu. Kaum mistik Kristen dan Islam jarang menerima hukum karma dan sering merujuk kepada surga dan taman firdaus sebagai tujuan akhir. Ada banyak level dan tingkat pengalaman mistik di antara kesadaran manusia biasa dan kesadaran diri tertinggi yang dapat menjadi sangat bervariasi dan tidak bebas ilusi. Sarenanya ketika kaum mistik dari agama-agama berbeda mungkin memiliki banyak persamaan, mereka kesulitan untuk mengajarkan hal yang sama. Dalam kenyataannya beberapa Kaum mistik telah menjadi misionaris atau memilih peran militan dalam perang salib atau jihad.


Apakah Para Pendiri Agama Mengajarkan Hal Yang Sama?

Para pemikir yang lain meyakini bahwa para guru yang sesungguhnya dari agama-agama mengajarkan hal yang sama tetapi para pengikutnya kemudian salah paham dan menyimpang dari ajaran, sebagai contoh ajaran yang asli dari Jesus, Muhamad dan Krishna adalah sama. Kini jika kita melihat secara dekat kepada ajaran yang masih ada dari para pemimpin agama kita menemukan pendekatan pendekatan yang sangat berbeda. Kitab-kitab seperti Al Quràn dan Bhagawad Gita tidak sama baik dalam sifat atau ajarannya. Jika agama-agama sangat berbeda, tidak ada alasan untuk percaya bahwa para pendirinya pastilah mengajarkan hal yang sama. Terlebih jika mayoritas para penganut agama saat ini melihat agama mereka dalam satu cahaya tertentu kita menggunakan itu sebagai ukuran agama tersebut, bukan pandangan kaum mistik dari agama itu yang oleh mayoritas pemeluknya dianggap bidah.

       Bahwa kita tidak menghargai semua agama sebagai sama, bagaimanapun, tidak berarti tidak ada nilai yang berharga dalam agama-agama yang berbeda. Kita dapat menghormati agama-agama untuk sumbangan sejarah, budaya, dan intelektual, tanpa harus menempatkan mereka sebagai sesuatu yang suci dan tidak bisa dipertanyakan. Alkitab, sebagai contoh, adalah sebuah buku yang luar biasa dengan banyak cerita tentang sejarah, puisi, dan kebijaksanaan. Tetapi Alkitab sama sekali bukan Wahyu Tühan, yang benar dalam semua hal atau untuk sepanjang jaman dan semua manusia. Dalam hal ini semua  agama adalah bagian dari warisan manusia dan harus dipahami, sebagaimana semua kejadian dan para pemimpin sebuah negeri harus diuji untuk mengerti sejarahnya. Sementara kita seharusnya terbuka terhadap kebenaran di manapun kita menemukannya, tidak berarti kita harus menerima semua agama sebagai kebenaran. Bahwa ada beberapa aspek kebenaran dalam semua agama tidak berarti bahwa semua aspek dari semua agama adalah benar, atau bahwa semua agama pada intinya sama. Ada sebuah aspek kebenaran dalam seni, ilmu pengetahuan dan aspek non religius dari budaya manusia. Apakah Sarva Dharma Samabhava perlu menyamakan semua ini?Karena itu kita harus berhati-hati dalam mengasosiasıkan Dharma memaksakan agama-agama dengan agama dan berbeda itu yang Dharma berbeda. Dalam yang seharmonis kenyataannya agama-agama yang berbeda mempunyai Sifat yang tidak harmonis yang akan membutuhkan banyak waktu, kajian dan komunikasi untuk memisahkannya. Semua ini menyebabkan banyak kesalahpahaman yang ada di muka bumi, dimana doa-doa kepada Tuhan selalu disertai seruan perang dan agresi. Para pendukung Hindu dari Sarva Dharma Samabhāvang mengatakan kepada pemeluk Kristen untuk menjadi seorang Kristen yang baik atau seorang Muslim untuk menjadi Muslim yang ng baik, dan tidak akan mendorong merekamenjadi pemeluk Hindu, seolah-olah agama-agama ini memiliki ajaran-ajaran yang sama dan memiliki nilai yang sama dengan agama Hindu. Ini yang mereka anggap sebagai liberal dalam hal beragama dan akan membantu setiap orang dalam pencarian Tuhan. Bagaimanapun, ini hanya mengasingkan orang-orang dalam keterbatasan dari kepercayaan agama mereka.

Agama yang tidak mengenal Kesadaran Diri

   Sebuah agama yang tidak mengenal Kesadaran Diri, Kesadaran Tuhan atau memiliki sädhanā, yoga apapun seperti kebanyakan agama-agama di Barat, tidak dapat mengarahkan pemeluknya kepada Moksha dalam pengertian Hindu. Jika kita ingin menolong seseorang menemukan Moksha, yang seharusnya menjadi perhatian utama dari Dharma, lebih baik menyarankan mereka untuk mengikuti apa yang benar, mencari Dharma, meski hal ini berarti bertentangan dengan ajaran agama yang selama ini dipahaminya. Sarva Dharma Samabhãva juga diartikan sama dengan ide bahwa "Kebenaran adalah satu tetapi memiliki banyak jalan". Sesungguhnya hanya ada Satu Kebenaran dan banyak jalan menuju kepadanya. Bagaimanapun, ini tidaklah berarti semua jalan menuju kepada kebenaran. Ada jalan yang mengarah kepada kebohongan dan beberapa jalan yang mengarah kepada setengah kebenaran. Sebuah jalan hanya dapat mengarahkan kita sejauh mana ia pergi. Sebuah agama yang tidak mengajarkan jalan menuju kesadaran diri tidak dapat mengantar kita kesana. Ia hanya dapat membawa kita kepada idenya tentang surga atau keselamatan yang disebutnya sebagai tujuan utama. Kesatuan dari Kebernaran dan monotheisme, ide yang meyakini hanya kepada satu Tuhan merupakan ajaran yang sama. Monotheisme seringkali menjadi sebuah formula khusus yang membagt kemanusiaan menjadi orang beriman dan orang kafir dan menolak menerima kebenaran yang berada di luar batas keyakinannya. Kesatuan Kebenaran tidak dapat membatasi dirinya pada monotheisme dari sebuah kepercayaan tertentu melainkan harus menghargai semua aspirasi spiritual apapun bentuknya. 




Kebenaran bukan milik satu agama

  Istilah yang benar bagi ide umum Barat mengenai agama, yang adalah sebuah keyakinan tertentu, dalam pemikiran Hindu bukanlah Dharma melainkan "mata" yang berarti sebuah keyakinan, cara pandang, atau opini. Tidak ada kemungkinan pernyataan seperti "Sarva Mata Samabhäva" atau kesamaan dan kesatuan dari semua opin1. Opini-opini berbeda sebagaimana pikiran manusia berbeda. Pun kita tidak butuh mencari untuk membuat semua opini itu menjadi satu dan sama. Perbedaan opini adalah penting sebagai bagian dari kemerdekaan dalam mencari kebenaran. Opini-opini sangat bervariasi bahkan saling kontradiksi. Beberapa mungkin benar, yang lainnya mungkin salah. Pandangan pandangan ini sangat spekulatif dan harus dibuktikan dalam kenyataan. Bahwa api membakar adalah Dharma. Inilah kualitas alamiahnya. Jika Seorang memiliki opini api tidak membakar kita tak dapat menghargai ide itu untuk mempertahankan universalitas dari semua Dharma. Kita harus mengijinkan setiap orang memiliki opininya sendiri tentang agama, karena pikiran umat manusia unik dan bergerak dalam jalan yang berbeda, kita tak bisa membenarkan semua opini religius sebagai benar Agama-agama sebagaimana kita ketahui dari dunia Barat, umumnya sistem kepercayaan yang menyatakan kebenaran adalah milik sebagian orang, kelompok, kitab suci, atau nama Tuhan dan bahwa mereka yang tidak mempercayainya adalah salah atau jahat. Saya menantang para pemimpin Kristen atau Islam untuk menen tang pernyataan ini dan mèngatakan Hinduisme, Buddhisme atau tradisi Dharma lainnya adalah sebaik bahkan lebih baik dari agama-agama mereka dan oleh karena itu semua usaha untuk mengkonversikan para pemeluk agama Dharma adalah salah dan harus di akhiril Jika semua agama mengikuti Dharma yang sama biarlah semua pemimpin agama mengatakan bahwa mereka menerima hukum karma sebagai sah dan Kesadaran Diri sebagai tujuan utama dari kehidupan. Biarlah seorang paus, uskup, mufti atau mullah mengatakan seseorang dapat menemukan Tuhan tanpa Yesus atau Muhammad, Alkitab atau Al Quràn. Jika mereka tidak mengatakan hal ini, bagaimana bisa seseorang, mengatakan bahwa semua agama adalah sama? Agama yang berpegang pada keyakinan yang berdasarkan pada waktu, tempat dan orang mengandung banyak nilai yang tidak universal atau sah. Sifat ekseklusif dari keyakinan-keyakinan mereka dalam sejarahnya telah mengarahkan mereka pada usaha-usaha pemaksaan untuk merubah keyakinan umat lain, yang dapat disebut adharma.

      Karena itu ekseklusifitas agama adalah penghalang bagi hubungan harmonis antara kelompok-kelompok agama. Membuat semua agama sama tidaklah mengakhirinya malahan sebaliknya, membiarkan ekseklusifitas itu berlanjut tanpa pertanyaan. Hal ini telah menempatkan keyakinan-keyakinan ekseklusif sama dengan tradisi-tradisi yang lebih toleran. Sementara terdapat banyak adharma mengenai kejahatan-kejahatan sosial yang muncul dalam konteks agama Hindu, tidak ada adharma dalam inti formulanya yang melebihi waktu, tempat dan orang, dan menekankan keabadian melebihi elemen sejarah dalam agama. Ia tidak membutuhkan sebuah formula khusus mengenai kebenaran tetapi terbuka bagi perbedaan dan keanekaragaman, dan sesungguhnya menyambut keragaman itu. 




Percabangan Politik

   Sarva Dharma Samabhäva telah menjadi sebuah prinsip politik di India-bahwa dalam rangka menciptakan keharmonisan sosial kita harus menghargai semua agama sebagai sama, sehingga perbedaan-perbedaan agama tidak menambah konflik sosial. Sayangnya konflik-konflik sosial terus berlangsung. Ini karena kepura-puraan bahwa semua agama adalah sama. Prinsip ini tidak menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan kesalahpahaman di antara mereka. Sarva Dharma Samabhāava telah digunakan untuk menyenangkan Kelompok-kelompok agama yang berbeda dan mendukung bank suara dalam pemilu yang didasarkan atas keyakinan agama. Hal ini seperti jalan satu arah. Kaum Hindu dikatakan menerima Sarva Dharma Samabhäva yang berarti bahwa mereka seharusnya tidak berkeberatan jika penganut Hindu dikonversikan/dirubah keyakinannya menjadi Kristen dan Islam dan seharusnya juga menghindari mengkritisi agama- agama ini bahkan jika apa yang mereka yakini tampak menjadi sebuah pelanggaran terhadap apa yang oleh kaum Hindu diyakini sebagai kebenaran. Sebaliknya, berdasarkan prinsip yang sama, kaum Muslim dan Kristen tidak diharapkan melakukan hal yang sama, menghentikan usaha-usaha konversi mereka, atau menjadi penganut Hindu. Hasilnya adalah Sarua Dharma Samabhāva hanya mengikis pandangan Hindu tentang kebenaran dan mendorong kaum Hindu untuk menyerahkan kemampuan kritik mereka dalam hal keagamaan. Ini bertentangan dengan semangat para Yogi dan Rsi yang dengan segala pola berdebat mendorong untuk sampai pada kebenaran. Untuk dicatat Sad Dharsana, enam sistem flsafat Hindu, sebagai sebuah tradisi kebebasan, hidup, dan debat secara hangat. Sementara kita sermua seharusnya berjuang untuk menjadi baik dan orang yang penuh hormat dan tidak mencampuri pandangan agama lain, tidak berarti kita harus berhenti berpikir. Untuk menciptakan keharmonisan sosial penganut iindu tidak harus berhenti untuk mempertahankan agamanya atau berhenti secara kritis menguji agama-agama yang menentangnya.Hasil logis dari pemikiran ini akan berarti bahwa pemeluk Hindu harus menyerahkan agamanya secarakeseluruhan. Namun ketika pemeluk Hindu mencobamempertahankan agamanya, yang masih di bawah kepungan bahkan di India, mereka didakwa melanggar Sarva Dharma Samabbava. Sebaliknya, ketika kelompok agama yang lain melanggar prinsip ini, seperti yang semua misionaris lakukan untuk mengkonversi keyakinan, hanya ada sedikit kecaman kepadanya. Kapankah kaum Kris ten dan Muslim pernah dikecam karena pelanggarannya terhadap Sarva Dharma Samabhãva? Apakah ini berarti bahwa mereka tidak pernah melakukannya? Jika prinsip Sarva Dharma Samabhäva tidak berlaku bagi mereka kemudian mengapa kita menginterpretasıkannya dan beranggapan semua agama adalah sama?



Dalih Toleransi

  Dengan dalih toleransi beragama ide persamaan ini digunakan untuk mencegah pengkritisan terhadap dogma-dogma agama, khususnya Kristen dan Islam. Penganut Hindu diajak menerima Alkitab dan Al Quràn adalah kebenaran seperti Bagawad Gita, misalnya, bahkan tanpa mencari tahu apa yang kitab-kitab ini katakan. Bilamana umat Hindu melihat agama-agama lain dengan kritis, bagaimanapun cerdas, santun dan objektifnya pandangan mereka, mereka disebut komunal. Daripada menyatukan semua kelompok agama, prinsip persamaan agama ini meneguhkan keberadaan agama-agama sebagaimana adanya. Agama-agama agresif dijinkan terus menjadi agresif. Agama-tidak mencoba mempertahankan dirinya. Setiap agama diberi perlindungan terhadap apa yang mereka lakukan dalam sejarah, dan agama- agama diberikan kebebasan untuk bertindak tanpa pertanyaan di bawah selubung kepercayaan. Kemudian apa alternatifnya? Apa jalan yang akan membawa pemahaman dalam level keagamaan dan keharmonisan sosial di antara kelompok agama-agama yang seringkali berbeda, jika tidak sikap permusuhan para pemeluk agama? Untuk ini apa yang sesungguhnya kita butuhkan adalah toleransi beragama, yang memerlukan sikap saling menghargai perbedaan dalam beragama, bukan membuat semua agama sama. Anggota komunitas dari agama-agama yang berbeda harus memahami bahwa agama-agama lain mungkin mengajarkan sesuatu yang sangat berbeda tentang Tuhan, kebenaran, keselamatan atau pembebasan dari apa yang mereka yakini. Daripada menganggap perbedaan-perbedaan ini tidak ada sebaiknya kita mengakuinya dan mengjinkan orang-or hang bebas mengujinya. Persamaan dari agama-agama seharusnya tidak dikelirukan dengan toleransi. Kita sebaiknya toleran kepada semua orang, meski mereka tidak setuju dengan kita. Toleransi terhadap perbedaan menciptakan harmoni, bukan sikap pura-pura bahwa perbedaan-perbedaan tidak ada. Dalam kenyataannya jika kita hanya toleran terhadap orang yang dapat kita buat sama dengan kita, kita belumlah menjadi toleran sama sekali.

Sumber Literatur: 

                               Buku " Hindu Agama Terbesar di Dunia " Gambar di atas .

I WAYAN AGUS NOVA SAPUTRA
I WAYAN AGUS NOVA SAPUTRA Saya adalah penulis blog alumni Mahasiswa Universitas Tadulako Palu Fakultas Hukum